![]() |
Saya bersama kakak di halaman rumah |
Salah satu bisnis yang menurut saya harus berbenah adalah studio foto. Di tahun 80-an keberadaan studio foto begitu menjamur. Saat itu kamera bukan lagi produk eksklusif, tapi sudah begitu massal. Di kota besar bahkan populasi kamera foto di masyarakat kelas menengah hampir dimiliki oleh setiap rumah tangga. Kamera semakin murah dan mudah digunakan. Satu hal yang tak lepas dari keberadaan kamera foto adalah rol film. Pemain besarnya saat itu adalah Fuji Film, Kodak dan Konica.
Fotografi analog tidak bisa diproses cetak dengan mudahnya oleh siapa saja. Film tidak boleh terekspos cahaya dan harus diproses dengan zat kimia. Disinilah muncul peluang bisnis besar, studio pemrosesan foto. Biasanya studio-studio foto ini juga menawarkan jasa fotografi seperti foto keluarga, foto profil, pas foto, dll. Cukup populer juga jasa pas foto langsung jadi yang menyiasati kebutuhan pas foto yang bersifat urgent. Studio foto seperti Champion Foto, SS Foto, Fuji Image Plaza, dll sering disebut tempat cuci-cetak foto atau kebanyakan orangtua masih menyebut dengan tempat afdruk foto.
Seiring perkembangan fotografi digital, usaha-usaha ini juga memperbarui mesin cetaknya dengan pencetak foto digital. Namun alat cetak digital kini tak lagi sulit dimiliki oleh rumah tangga. Printer meja yang harganya tidak sampai Rp.1juta saja bisa mencetak dengan resolusi tinggi. Studio foto pun harus berhati-hati. Kebutuhan pencetakan foto juga semakin dirasa tidak perlu karena arena pajangnya kini terpampang tak hingga di ranah maya. Dari Flickr, Facebook, Instagram dan lain sebagainya sesuai preferensi masing-masing orang.
Dulu orang mencetak foto sebanyak jumlah foto dalam rol film karena agak repot kalau harus melihat preview di klisenya. Kini anda bisa preview di layar kamera atau komputer, pilih yang bagus saja dan cetak seperlunya. Belakangan ini saja saya hanya mencetak tak sampai 10 foto anak saya yang benar-benar bagus untuk dipajang di meja kantor dan di rumah. Selain itu hanya foto saya dengan istri sejak pacaran sampai menikah. Total hanya sekitar 20-30 foto selama 3 tahun terakhir. Di tahun 80-90an, keluarga saya bisa mencetak 50an foto per bulan, dan bahkan kalau melakukan perjalanan tamasya bisa menghabiskan 1 rol film isi 36 dalam 2 hari. Kenangan visual itu tersimpan di album yang memenuhi kardus-kardus.
Membuka setiap album bisa membawa kenangan yang sangat manis. Saat kami semua sekeluarga masih serumah, senyum gigi ompong saya bersama kakak saya, perjalanan tamasya ke berbagai kota melalui jalan darat, para eyang yang sudah tiada, dan ribuan kenangan lain. Memori visual yang terekam foto itu akan sanggup membuat anda menitikkan mata karena rindu dengan keluarga dan orang terdekat. Itulah sebabnya penting bagi orangtua saya saat itu untuk mencetak banyak foto. Suatu hari di masa depan, rekaman itu akan sangat berarti.
Kini di era digital, hal ini tidak lagi terjadi. Kamera sudah dimiliki masing-masing personal lewat ponselnya. Kebutuhan mencetak foto menjadi semakin tergerus. Yang kita lakukan adalah mencolokkan ke komputer untuk di simpan dalam hard disk atau mengunggahnya ke social media. Tidak ada lagi prosedur naik bajaj ke studio foto membawa rol film, penasaran dengan hasil foto-foto, bercengkerama dengan pegawai studio foto, mampir pasar untuk beli jajanan, menunggu hasil cetak dengan cemas, sampai akhirnya menerima hasil cetakan dengan wajah gembira. Melihat satu per satu foto juga bisa mengundang tawa atau air mata. Setelah itu kalau ada foto yang bagus sekali akan diperbesar hingga 8R atau 10R untuk dibingkai. Sungguh sebuah rangkaian kejadian yang begitu khas. Begitu berkesan jika diingat lagi saat ini.
Kini saya kehilangan rangkaian itu. Tapi apa daya, ini karena diri saya juga termakan zaman. Tak efisien dan tak efektif bagi saya kalau harus menggunakan cara lama itu. Kini saya berpikir, bagaimana studio-studio foto itu bisa bertahan jika jutaan orang juga termakan zaman seperti saya?
![]() |
Saya di kolam bola |
No comments:
Post a Comment