Tuesday, March 18, 2014

Ketika EDM Terbelenggu Drugs


Akhir pekan lalu, ribuan anak muda di Kuala Lumpur seharusnya dapat berpesta gila-gilaan bersama pada hari terakhir rangkaian acara Future Music Festival Asia. Saya pun hadir disana untuk menyaksikan penampilan Pharrell Williams, Macklemore & Ryan Lewis, Rudimental, Tinie Tempah, Knife Party dan banyak lagi.  Namun ternyata apa yang terjadi? Acara tersebut dibatalkan di hari-H saat ribuan penonton sudah tiba di lokasi festival. Alasan utamanya adalah karena dari malam sebelumnya ketika digelar acara A State Of Trance dengan sajian musik EDM (Electronic Dance Music) dikaitkan dengan jatuhnya korban meninggal 6 orang dan 3 lainnya dalam keadaan kritis akibat overdosis metamphetamine (sumber) . Karena alasan keselamatan, pihak berwajib di Malaysia meminta penyelenggara untuk membatalkan acara di hari terakhir.

Kejadian itu cukup mengejutkan dan menggugah saya untuk mencari tahu lebih jauh tentang apa yang terjadi sembari melihat bingkai besarnya. 6 korban jiwa bukan angka yang kecil untuk sebuah event musik. Ketika rangkaian event "A State Of Trance" itu digelar di Jakarta keesokan harinya, jatuh pula 3 korban tewas akibat overdosis (sumber). Keadaan tersebut sudah begitu serius karena meskipun sifat kejahatan penggunaan narkotika/obat terlarang merupakan perilaku unik dimana sang korban juga merupakan pelaku. Sejenis seperti layaknya bunuh diri yang diistilahkan victimless crime. Namun ketika sudah jatuh korban jiwa, sudah saatnya hal ini dilihat sebagai fenomena. Untuk membuka mata, mari kita telisik, relasi apa yang sebenarnya terjadi antara EDM dan drugs?


Penggunaan drugs atau pun narkotika dan relasinya dengan musik sebenarnya sudah merentang jauh. Coba saja melirik sejarah musik Psychedelic yang erat dikaitkan dengan LSD. Era EDM pun begitu erat dengan ekstasi. Tammy L. Anderson, seorang profesor dari Departemen Sosiologi dan Peradilan Pidana University of Delaware pernah membahas ini lewat penelitiannya di tahun 2008 mengenai solidaritas dan penggunaan obat terlarang di skena EDM (sumber). Dalam laporannya menyebutkan bahwa pesta rave sebagai situs penggunaan obat terlarang besar-besaran. Menelisik lebih jauh ia mengklarifikasi mengenai solidaritas dalam penggunaan obat terlarang. Selain itu ia juga membahas beberapa hal tentang keterkaitannya dengan identitas kolektif dan budaya anak muda.


Event EDM seperti rave tentu melibatkan juga para artis yang menyajikan musik. Mengenai kejadian serupa di ajang Electric Zoo di New York tanggal 30 Agustus – 1 September yang memakan korban 2 orang, Jillionaire dari grup Major Lazer melempar pernyataan yang cukup menohok.


"It's going to sound weird, but we need to teach kids how to do drugs, the same way we teach them about drinking responsibly and having safe sex," (sumber)


Sedangkan Diplo berkomentar

"We're such a conservative culture that we'd rather not talk about the things kids want to do, even though they're going to do them anyway," Diplo said. "We'd rather ignore it to solve the problem. In Florida, where I'm from, drugs have been a part of club culture since day one. Kids have always been going to raves in the woods. 20 years ago, Orlando was one of the first places to have rave culture, and we learned how to do drugs. It's going to happen; you can't control it. Persecuting a festival is not going to help it because kids are going to do them regardless.”
(sumber)




Acara Electric Zoo pun akhirnya harus diberhentikan untuk menghindari jatuhnya korban lagi di acara tersebut. Dari segi bisnis, perputaran uang di dunia EDM sudah mencapai nilai 4,5 miliar Dollar ini. Bayangkan resiko tinggi yang harus ditanggung para pelaku usaha di bidang ini ketika berhadapan dengan kondisi-kondisi yang penuh ketidakpastian.


Dengan berbagai kejadian seperti diatas, skena EDM bisa terbelenggu. Hukum narkotika dan obat terlarang yang semakin ketat, norma-norma konservatif serta resiko tinggi dari segi bisnis bisa melumpuhkan gerak perkembangan skena EDM ibarat tawanan yang dibelenggu.


Salah siapa? Pertanyaan ini menjadi salah satu fokus utama dalam mencari solusi. Kita tidak bisa menyalahkan musiknya. Beberapa opini beranggapan bahwa saat ini banyak beredar obat terlarang “palsu” sehingga sering terjadi pada korban dimana mereka menyangka yang dikonsumsi adalah MDMA (methylenedioxy methylamphetamine / Ecstasy) padahal sebenarnya adalah PMA (para-Methoxyamphetamine). Karena perbedaan ini kadang mengecoh penggunanya untuk mengonsumsi lebih banyak dan pada akhirnya menyebabkan overdosis.




Namun apakah keberadaan ecstasy bisa dibenarkan? Seperti komentar Diplo diatas, bahwa drugs sudah menjadi bagian dari skena ini. Mungkin kata-kata Jillionaire mengenai pentingnya pengetahuan tentang bagaimana memakai obat terlarang bisa menjadi salah satu solusi namun tentu harus menabrak banyak rambu. Pencegahan peredaran obat terlarang di lokasi event pun nyaris mustahil karena tak mungkin melakukan razia mendalam pada ribuan penonton. Hal ini yang dilihat oleh DanceSafe sebuah lembaga yang mengedukasi penonton mengenai pengurangan bahaya (harm reduction) dari penggunaan obat terlarang. Namun kendalanya kadang tidak semua pihak bisa menerima keberadaan mereka karena seakan mengamini penggunaan obat terlarang. Hal ini ibarat sebuah lokalisasi pelacuran yang tak terjamah kampanye seks yang aman.


Ada juga beberapa pernyataan para artis yang patut disimak. Bagi para artis yang jadi panutan, sudah sepantasnya mengampanyekan pelarangan penggunaan obat terlarang. Ex personil Swedish House Mafia, Sebastian Ingrosso berpendapat serupa “I think that it’s very important that if you are some kind of icon and up on stage, and there are thousands of people following us on Twitter and coming to our shows, we need to be someone [fans] can look up to,” Selain itu ada juga pernyataan seperti ini “I don’t think we should be scared of saying ‘don’t do drugs,’”. “There is this sort of elephant in the room, where people are scared to say, ‘That stuff is dangerous and don’t mess around.’” ujar A-Trak.


Melihat banyaknya sisi dari masalah ini, nampaknya dunia EDM masih harus terus mencari solusi agar tidak terus terjadi hal serupa. Hal pertama yang harus disadari adalah semua pihak yang berkepentingan harus mengakui bahwa masalah obat terlarang memang ada di dunia EDM. Penyelenggara harus mencari solusi penyaringan barang terlarang untuk masuk kedalam lokasi. Lembaga edukasi harm reduction harus disiapkan dalam setiap acara untuk mengurangi resiko kematian. Para artis harus berani kampanye anti penggunaan obat terlarang. Para penonton dan penikmat EDM pun harus turut serta dalam kampanye ini. Dengan lebih bertanggung jawab, semoga di masa depan tak ada lagi yang harus tewas overdosis saat ajojing sementara para bandar tak peduli dan masih bisa tertawa terbahak.





No comments:

Post a Comment