Friday, September 19, 2014

UU Hak Cipta dan Kehormatan Bangsa



Apa sih pentingnya hak cipta? Bayangkan hidup masyarakat Indonesia selama ini secara serampangan memerkosa hak cipta dan tak malu mempertontonkannya ke siapa saja. Kenapa saya bisa bilang begitu? Contoh saja di media sosial, tak banyak yang malu mengatakan kalau dirinya sedang nonton DVD suatu film yang jelas-jelas secara resmi film tersebut belum dirilis dalam format DVD. Jujur saya pun masih belum bisa sepenuhnya tak mengonsumsi karya cipta bajakan. Saya tau itu salah dan sangat memalukan!

Pelaku industri kreatif bisa sedikit mengambil nafas lega dengan disetujuinya Revisi atas UU Hak Cipta pada 16 September lalu. Hal ini dirasa sangat pas seiring akan dilantiknya juga pemerintahan baru yang dipimpin oleh presiden terpilih Joko Widodo dalam selang waktu yang tak terlalu lama. Seperti telah disaksikan oleh rakyat Indonesia, Joko Widodo pernah menyampaikan dukungannya pada bidang ekonomi kreatif. Hak cipta menjadi salah satu elemen paling penting dari berbagai kegiatan ekonomi kreatif karena inilah regulasi yang akan mengatur muara industri kreatif yaitu para pencipta dan pemegang hak cipta. Revisi terbaru dari UU Hak Cipta kini memberikan jangka waktu atas atas hak cipta menjadi lebih panjang dan memungkinkan untuk diwariskan. Selain itu juga tertera pasal-pasal perlindungan yang lebih jauh.

Sebagai keluarga yang hidup dari industri kreatif, saya apresiasi pihak pemerintah dan parlemen atas UU ini. Nafkah keluarga kami kini semakin terlindungi. Satu hal yang jadi penekanan adalah penantian akan penegakannya. Seberapa “seksi” isu ini secara politis? Selama tidak menimbulkan gejolak massa, mungkin UU ini akan hanya jadi benang basah yang tak bisa tegak. Impoten!

Ya, faktor politis jadi penting. Ini sudah terbukti ketika terjadi apa yang disebut oleh industri musik tanah air sebagai “Black October” yaitu ketika di bulan Oktober 2011, pemerintah memutus aktivasi layanan RBT di semua operator selular karena kasus pencurian pulsa oleh beberapa oknum. Ibarat tikus di lumbung padi yang diburu dengan cara membakar lumbung. Banyak perusahaan penyedia konten dan juga perusahaan rekaman yang tak bersalah harus melakukan PHK atau bahkan menutup perusahaan. Bayangkan pasar yang sudah terbentuk harus terhenti secara mendadak. Kenapa respon pemerintah bisa sedemikian keras, tentu karena teriakan publik yang secara politis wajib ditangani secepatnya. Bayangkan jika industri kreatif tergolong padat karya, sepertinya pemerintah akan berpikir lebih keras untuk mengatasi masalah tanpa mematikan pihak yang tak terlibat.

Hadirnya UU Hak Cipta diharapkan mampu membawa stake holder ekonomi kreatif ke posisi politis yang mumpuni. Tentu tak sebentar untuk membangun masyarakat yang sadar hak cipta. Bahkan di negara maju pun masalah pembajakan juga masih merajalela. Sebelum keluar UU ini, sebelumnya sudah ada UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta namun apa yang kita rasakan toh tak banyak perubahaan. Melihat secara luas, ini memang bukan cuma tentang penegakan hukum dan political will. Ini juga masuk ke ranah moral serta kebudayaan. Bangsa yang kaya folklor seperti Indonesia terbiasa dengan karya yang bebas dikonsumsi. Lama kemudian, saat ini sulit untuk menjelaskan konsep hak cipta pada awam. Hak cipta memang tak berbentuk benda sehingga sulit dipahami apa yang dapat dicuri, diwariskan dan dilindungi. Bagai udara, masyaraskat merasa kekayaan intelektual dan karya cipta adalah hal bebas. Inilah tantangan tersulitnya.

Ekonomi kreatif yang kini mulai dilembagakan dan mendapat perhatian serius memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di dalamnya ada kehormatan bangsa. Regulasi hak cipta yang baik akan membawa anak bangsa tak takut berkarya dan berinovasi. Bayangkan Indonesia sebagai bangsa yang penuh inovasi dan karya orisinil. Seniman dan penemu tak takut akan masa depannya suram. Semua akan berlomba menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat. Karya cipta mereka dilindungi oleh negara. Inilah salah satu esensi dari perkembangan sebuah bangsa yang besar. Bangsa para penemu, sastrawan, penggubah, arsitek, ilmuwan, hingga programmer handal. Apakah tega jika Indonesia mentok menjadi bangsa buruh?

Image & Referensi:

No comments:

Post a Comment