KOMPAS
IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO-RODERICK ADRIAN MOZES
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/05/foto-foto-lautan-manusia-pada-konser-salam-2-jari-untuk-jokowi-jk
|
Masa kampanye Pilpres
Indonesia tahun ini telah usai. Dalam hitungan hari bangsa ini akan memilih
pemimpin baru sebagai Presiden. Hasil akhirnya akan menentukan bagaimana
jalannya Republik ini kedepannya. Tak heran kalau berbagai lini masyarakat
begitu intens memperhatikan jalannya masa kampanye dan bahkan keterlibatan
relawan di pemilu kali ini terasa begitu masif. Juru kampanye dan relawan
menjadi bahan bakar propaganda yang dibutuhkan setiap kandidat. Salah satu
bidang yang begitu dilirik adalah para musisi entah itu penyanyi, pemain musik
hingga para pemerhati dan pegiat aktifitas kebudayaan musik. Melihat fenomena
ini membuat saya ingin tahu lebih jauh tentang keterlibatan musik dalam kampanye
politik. Sejak kapan praktek ini terjadi dan mengapa?
Andrew Jackson
Photo Credit: Library of
Congress (J.B. Longacre) - http://www.history.com/photos/andrew-jackson/photo4
|
Pemanfaatan musik dalam hal
politik terutama dalam masa pemilihan sebenarnya sudah terjadi jauh di masa lampau. Colin G. Zelicof dari University
of Pennsylvania membahas dalam tulisannya yang berjudul “’Orchestrating’ the
Campaign: The Sounds of American Presidential Elections”. Ia menjelaskan bahwa
di Amerika Serikat penggunaan musik sebagai alat kampanye diawali oleh Andrew
Jackson saat pemilihan tahun 1824. Andrew jackson menggunakan lagu “The Hunters
of Kentucky” ciptaan Samuel Woodworth menggambarkan kisah heroiknya dan
dijadikan lagu kampanye hingga akhirnya ia terpilih sebagai presiden AS.
Kesuksesan lagu kampanye terjadi lagi tahun 1840 lewat lagu “Tippicanoe and
Tyler Too” untuk William Henry Harrison. Namun dalam sejarah, terjadi juga lagu
kampanye yang gagal membawa pengusungnya ke kursi kepemimpinan, masih diambil
dari tulisan Zelicof, pada tahun 1864, George McClellan menggunakan “Little
Mac! Little Mac! You’re the Very Man,” ketika berhadapan dengan Abraham Lincoln
dan ia tak berhasil mematahkan kebijakan anti-perbudakan milik Abraham Lincoln.
Will.i.am &
Obama
http://www.theguardian.com/music/2008/feb/04/news
|
Melihat kisah lampau, mari
kita tarik ke beberapa tahun terakhir terutama di masa Barrack Obama. Dukungan musik
dan para artisnya dalam berbagai kampanye juga berdampak pada elektabilitasnya
yang kian melambung. Will.i.am memprakarsai video “Yes We Can” yang dibanjiri
artis dan selebriti kelas atas seperti John Legend, Scarlett Johansson, Nicole
Scherzinger, Herbie Hancock hingga Kareem Abdul-Jabbar. Sebuah artikel di media
Inggris The Independent membuat daftar aksi-aksi para musisi/penyanyi yang berkaitan
dengan kampanye presiden seperti Katy Perry yang menggunakan busana bergambar
surat suara memilih Obama. Sementara Kid Rock aktif di sisi Romney serta
lagunya dipakai di berbagai kesempatan kampanye Romney.
Ahmad Dhani
http://www.merdeka.com/artis/bahas-dhani-media-singapura-juluki-pemilu-nazi-indonesia.html
|
Tak jauh beda dengan di
Indonesia. Pemilihan Presiden tahun ini juga banyak nada yang bernyanyi
mengiringi kampanye masing-masing kandidat. Di sisi Prabowo-Hatta ada sosok
Ahmad Dhani dan Rhoma Irama sebagai sosok musisi yang punya basis massa. Lagu
yang paling jadi pembicaraan adalah “Indonesia Bangkit” dimana Ahmad Dhani dan
para jebolan Indonesian Idol muncul dalam sebuah video controversial yang
menampilkan Dhani berpakaian mirip seorang perwira NAZI dan adaptasi lagu “We
Will Rock You” yang kabarnya tak berizin. Salah satu yang unik juga adalah
ketika para petinggi kubu ini juga menggelar konser artis mancanegara, Maher
Zain tanpa atribut kampanye pilpres dan partai.
![]() |
Konser Salam 2
Jari
Slank.com
|
Di kubu Jokowi-JK juga
terlihat dukungan para pelaku dunia musik. Slank yang punya basis massa
Slankers di berbagai belahan tanah air kini turun gunung untuk ikut serta ke
ranah pemilihan presiden lewat dukungan ke Jokowi-JK. Lagu “Salam 2 Jari”
digulirkan oleh Slank bersama rekan musisi lain seperti Oppie Andaresta, Kikan,
Ello, J-Flow, dkk. Puncaknya adalah di hari terakhir masa
kampanye diadakan pagelaran konser epik “Salam 2 Jari” yang mengajak Titiek Puspa, Ian Antono, Gita Gutawa, Erwin gutawa dan nama-nama lain di venue konser terbesar
di Jakarta yaitu stadion Gelora Bung Karno.
Hubungan harmonis antara musik
dan pemilihan presiden tampaknya masih jadi senjata ampuh untuk jadi amunisi
kampanye. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ted Brader, seorang Associate
Professor of Political Science dari University of Michigan, menyimpulkan bahwa
penggunaan lagu dalam iklan politik mampu meningkatkan partisipasi politik dibanding
jika tidak menggunakan musik. Namun dibalik pemakaian sebuah lagu, tetap harus
menghargai Hak Kekayaan Intelektual yang ada dalam sebuah karya cipta.
Pemakaian sebuah lagu kadang terjadi secara organik lewat kesamaan tema. Namun
hal yang harus diingat adalah penyanyi ataupun penulis lagu tersebut juga bisa
dikaitkan dengan orientasi politik dari pihak yang menggunakan. Pemakaian lagu
tersebut akhirnya harus mendapat izin dari artis-artis yang bersangkutan agar
tak terjadi konflik. Hal ini cukup sering terjadi di Amerika Serikat seperti
ketika lagu “Waving Flag” dari K’Naan digunakan oleh Mitt Romney, lagu “Born In
The USA” Bruce Springsteen digunakan oleh Ronald Reagan, “I Won’t Back Down”
dari Tom Petty digunakan oleh George W. Bush hingga lagu “Barracuda” nya Heart
yang dipakai oleh Sarah Palin.
Selain konflik seperti diatas,
harus diperhatikan juga mengenai latar belakang lagu, jangan sampai terjadi
seperti partai Republik di Amerika Serikat yang sempat menggunakan lagu “Right
Now” dari Van Halen. Partai ini tak cukup cermat untuk melihat latar belakang
lagu yang diambil dari album “For Unlawful Carnal Knowledge” yang jika disingkat
menjadi “F.U.C.K”.
Pada akhirnya pesona
popularitas yang bisa digapai oleh musik adalah kekuatan utama untuk memperkuat
elektabilitas. Penyampaian sebuah propaganda yang dibalut estetika seni dan
budaya akan lebih mudah diterima massa. Ditambah sosok para artis yang kini
lebih dipercaya dibanding politisi menjadikan mereka pasukan politik yang lebih
dari sekedar penghibur panggung orasi. Tak harus menjadi kader, dukungan kecil
mereka bagaikan kucuran segar bagi pelaku politik yang semakin tak didengar
rakyat karena mereka pun tak biasa mendengar. Musik masih punya estetika yang
nyaman di telinga.
Musik sebagai salah
satu aktualisasi karya cipta sebuah kebudayaan adalah kekuatan besar yang punya
kemampuan membentuk pola pikir hingga mengiringi gerakan sosial. Sebuah
orkestrasi nada punya daya yang lebih hebat dari senjata. Mesiu bisa melumpuhkan
raga namun musik bisa meluluhkan hati dan mengobarkan semangat. Sungguh, hati
dan semangat lebih kuat daripada sekedar raga. Untuk kedua kandidat, gunakanlah
musik dengan kehormatan yang setinggi-tingginya.
Artikel referensi:
Zelicof, Colin G.,
“Orchestrating” the Campaign: The
Sounds of American Presidential Elections, http://www.thepresidency.org/storage/documents/Zelicof-_Final_Paper.pdf
“How America’s
music stars are voting with their voices this election” http://www.independent.co.uk/arts-entertainment/music/features/how-americas-music-stars-are-voting-with-their-voices-this-election-8274212.html
“Where Music Meets Politics: Campaign Songs” http://marquee.blogs.cnn.com/2012/02/03/where-music-meets-politics-campaign-songs/
“The Best and Worst Political Campaign Songs (But Mostly
the Worst)”
http://mentalfloss.com/article/29066/best-and-worst-political-campaign-songs-mostly-worst
No comments:
Post a Comment