Monday, July 7, 2014

Senjata Nada dalam Sejarah Pemilihan Pemimpin Bangsa





 KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO-RODERICK ADRIAN MOZES
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/05/foto-foto-lautan-manusia-pada-konser-salam-2-jari-untuk-jokowi-jk

Masa kampanye Pilpres Indonesia tahun ini telah usai. Dalam hitungan hari bangsa ini akan memilih pemimpin baru sebagai Presiden. Hasil akhirnya akan menentukan bagaimana jalannya Republik ini kedepannya. Tak heran kalau berbagai lini masyarakat begitu intens memperhatikan jalannya masa kampanye dan bahkan keterlibatan relawan di pemilu kali ini terasa begitu masif. Juru kampanye dan relawan menjadi bahan bakar propaganda yang dibutuhkan setiap kandidat. Salah satu bidang yang begitu dilirik adalah para musisi entah itu penyanyi, pemain musik hingga para pemerhati dan pegiat aktifitas kebudayaan musik. Melihat fenomena ini membuat saya ingin tahu lebih jauh tentang keterlibatan musik dalam kampanye politik. Sejak kapan praktek ini terjadi dan mengapa?


Andrew Jackson
Photo Credit: Library of Congress (J.B. Longacre) - http://www.history.com/photos/andrew-jackson/photo4

Pemanfaatan musik dalam hal politik terutama dalam masa pemilihan sebenarnya sudah terjadi jauh di  masa lampau. Colin G. Zelicof dari University of Pennsylvania membahas dalam tulisannya yang berjudul “’Orchestrating’ the Campaign: The Sounds of American Presidential Elections”. Ia menjelaskan bahwa di Amerika Serikat penggunaan musik sebagai alat kampanye diawali oleh Andrew Jackson saat pemilihan tahun 1824. Andrew jackson menggunakan lagu “The Hunters of Kentucky” ciptaan Samuel Woodworth menggambarkan kisah heroiknya dan dijadikan lagu kampanye hingga akhirnya ia terpilih sebagai presiden AS. Kesuksesan lagu kampanye terjadi lagi tahun 1840 lewat lagu “Tippicanoe and Tyler Too” untuk William Henry Harrison. Namun dalam sejarah, terjadi juga lagu kampanye yang gagal membawa pengusungnya ke kursi kepemimpinan, masih diambil dari tulisan Zelicof, pada tahun 1864, George McClellan menggunakan “Little Mac! Little Mac! You’re the Very Man,” ketika berhadapan dengan Abraham Lincoln dan ia tak berhasil mematahkan kebijakan anti-perbudakan milik Abraham Lincoln.



Will.i.am & Obama
http://www.theguardian.com/music/2008/feb/04/news

Melihat kisah lampau, mari kita tarik ke beberapa tahun terakhir terutama di masa Barrack Obama. Dukungan musik dan para artisnya dalam berbagai kampanye juga berdampak pada elektabilitasnya yang kian melambung. Will.i.am memprakarsai video “Yes We Can” yang dibanjiri artis dan selebriti kelas atas seperti John Legend, Scarlett Johansson, Nicole Scherzinger, Herbie Hancock hingga Kareem Abdul-Jabbar. Sebuah artikel di media Inggris The Independent membuat daftar aksi-aksi para musisi/penyanyi yang berkaitan dengan kampanye presiden seperti Katy Perry yang menggunakan busana bergambar surat suara memilih Obama. Sementara Kid Rock aktif di sisi Romney serta lagunya dipakai di berbagai kesempatan kampanye Romney.




Ahmad Dhani
http://www.merdeka.com/artis/bahas-dhani-media-singapura-juluki-pemilu-nazi-indonesia.html
Tak jauh beda dengan di Indonesia. Pemilihan Presiden tahun ini juga banyak nada yang bernyanyi mengiringi kampanye masing-masing kandidat. Di sisi Prabowo-Hatta ada sosok Ahmad Dhani dan Rhoma Irama sebagai sosok musisi yang punya basis massa. Lagu yang paling jadi pembicaraan adalah “Indonesia Bangkit” dimana Ahmad Dhani dan para jebolan Indonesian Idol muncul dalam sebuah video controversial yang menampilkan Dhani berpakaian mirip seorang perwira NAZI dan adaptasi lagu “We Will Rock You” yang kabarnya tak berizin. Salah satu yang unik juga adalah ketika para petinggi kubu ini juga menggelar konser artis mancanegara, Maher Zain tanpa atribut kampanye pilpres dan partai.

Konser Salam 2 Jari
Slank.com
Di kubu Jokowi-JK juga terlihat dukungan para pelaku dunia musik. Slank yang punya basis massa Slankers di berbagai belahan tanah air kini turun gunung untuk ikut serta ke ranah pemilihan presiden lewat dukungan ke Jokowi-JK. Lagu “Salam 2 Jari” digulirkan oleh Slank bersama rekan musisi lain seperti Oppie Andaresta, Kikan, Ello, J-Flow, dkk. Puncaknya adalah di hari terakhir masa kampanye diadakan pagelaran konser epik “Salam 2 Jari” yang mengajak Titiek Puspa, Ian Antono, Gita Gutawa, Erwin gutawa dan nama-nama lain di venue konser terbesar di Jakarta yaitu stadion Gelora Bung Karno.



Hubungan harmonis antara musik dan pemilihan presiden tampaknya masih jadi senjata ampuh untuk jadi amunisi kampanye. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ted Brader, seorang Associate Professor of Political Science dari University of Michigan, menyimpulkan bahwa penggunaan lagu dalam iklan politik mampu meningkatkan partisipasi politik dibanding jika tidak menggunakan musik. Namun dibalik pemakaian sebuah lagu, tetap harus menghargai Hak Kekayaan Intelektual yang ada dalam sebuah karya cipta. Pemakaian sebuah lagu kadang terjadi secara organik lewat kesamaan tema. Namun hal yang harus diingat adalah penyanyi ataupun penulis lagu tersebut juga bisa dikaitkan dengan orientasi politik dari pihak yang menggunakan. Pemakaian lagu tersebut akhirnya harus mendapat izin dari artis-artis yang bersangkutan agar tak terjadi konflik. Hal ini cukup sering terjadi di Amerika Serikat seperti ketika lagu “Waving Flag” dari K’Naan digunakan oleh Mitt Romney, lagu “Born In The USA” Bruce Springsteen digunakan oleh Ronald Reagan, “I Won’t Back Down” dari Tom Petty digunakan oleh George W. Bush hingga lagu “Barracuda” nya Heart yang dipakai oleh Sarah Palin.



Selain konflik seperti diatas, harus diperhatikan juga mengenai latar belakang lagu, jangan sampai terjadi seperti partai Republik di Amerika Serikat yang sempat menggunakan lagu “Right Now” dari Van Halen. Partai ini tak cukup cermat untuk melihat latar belakang lagu yang diambil dari album “For Unlawful Carnal Knowledge” yang jika disingkat menjadi “F.U.C.K”.



Pada akhirnya pesona popularitas yang bisa digapai oleh musik adalah kekuatan utama untuk memperkuat elektabilitas. Penyampaian sebuah propaganda yang dibalut estetika seni dan budaya akan lebih mudah diterima massa. Ditambah sosok para artis yang kini lebih dipercaya dibanding politisi menjadikan mereka pasukan politik yang lebih dari sekedar penghibur panggung orasi. Tak harus menjadi kader, dukungan kecil mereka bagaikan kucuran segar bagi pelaku politik yang semakin tak didengar rakyat karena mereka pun tak biasa mendengar. Musik masih punya estetika yang nyaman di telinga.



Musik sebagai salah satu aktualisasi karya cipta sebuah kebudayaan adalah kekuatan besar yang punya kemampuan membentuk pola pikir hingga mengiringi gerakan sosial. Sebuah orkestrasi nada punya daya yang lebih hebat dari senjata. Mesiu bisa melumpuhkan raga namun musik bisa meluluhkan hati dan mengobarkan semangat. Sungguh, hati dan semangat lebih kuat daripada sekedar raga. Untuk kedua kandidat, gunakanlah musik dengan kehormatan yang setinggi-tingginya.




Artikel referensi:

Zelicof, Colin G., “Orchestrating” the Campaign: The Sounds of American Presidential Elections, http://www.thepresidency.org/storage/documents/Zelicof-_Final_Paper.pdf









“The Best and Worst Political Campaign Songs (But Mostly the Worst)”

http://mentalfloss.com/article/29066/best-and-worst-political-campaign-songs-mostly-worst

No comments:

Post a Comment