Thursday, December 4, 2014

Perjalanan ke Hong Kong untuk Promosi Collabro (Day 2)


Perjalanan untuk mendampingi media semacam ini memang merupakan salah satu tugas tim marketing di perusahaan rekaman. Cara ini sering dilakukan karena padatnya jadwal artis internasional yang hanya bisa mengunjungi 1-2 kota di setiap region. Di Asia, negara yang paling sering jadi tujuan adalah Hong Kong atau Singapura. Beberapa hal yang harus dikerjakan pra keberangkatan adalah pengaturan dan koordinasi dengan pihak media serta kantor regional. Selain itu tentu pengaturan hotel, penerbangan, akomodasi dan penjadwalan juga perlu dilakukan. Berkaitan dengan peliputan, kita harus koordinasi mengenai regulasinya. Semua ini diperlukan demi kelancaran proses peliputan dan wawancara. Semua ini sudah harus siap sebelum keberangkatan.

Kembali ke cerita perjalanan yang kini sudah masuk hari kedua. Pagi-pagi saya mulai cek kegiatan Collabro di media sosial, karena bisa menjadi bahan wawancara serta konten promosi untuk diteruskan ke tim sosial media kami. Mereka foto di airport dan juga mengambil video singkat di kawasan Tsim Sha Tsui menyanyikan lagu “Let It Go” di pinggir jalan. Oke tandanya mereka benar-benar sudah tiba di Hong Kong. Kami jadi media pertama yang datang ke lokasi, karena sudah datang jauh-jauh kalau sampai ada hal yang terlewat kan rugi besar. Tim Net. segera menyiapkan peralatan di ballroom tempat showcase akan berlangsung sementara saya berbincang serta berkenalan dengan rekan-rekan Sony Music dari negara tetangga.

The Langham ternyata memang cukup mewah dan memiliki akar dari London. Hal ini sangat relevan dengan Collabro yang merupakan pemenang Britain’s GotTalent dan pernah tampil di acara Royal Variety, acara hiburan bergengsi untuk kalangan kerajaan Inggris. Istilah pimpinan The Langham Hongkong ketika menanggapi Collabro tampil di hotelnya di Hong Kong adalah “Bring’em home” karena The Langham Hong Kong begitu kental dengan nilai-nilai Inggris Collabro akan merasa seperti di rumah sendiri ketika tinggal di The Langham Hong Kong. Penonton pun tergelak sembari menikmati minuman dari Hennessy VSOP yang juga mensponsori acara ini.



Tak lama, Collabro diundang naik panggung. Lima pemuda berpakaian jas serba hitam pun kini ada di hadapan penonton yang bertepuk dan bersorak. Sedikit perkenalan dilanjutkan penampilan lagu “Come What May” dari Moulin Rouge; “Over the Rainbow” dari The Wizard of Oz; “Let It Go” dariFrozen, “All of Me” hit dari John Legend, “Bring Him Home” dan “Stars” dari Les Miserables. Mereka memang spesialis lagu dari pertunjukan musikal. Ini hal yang saya suka dari mereka. Lagu musikal terdengar lebih mudah diterima umum dengan jalan cerita yang juga lebih popular dibanding opera. Saya orang yang cukup menikmati pertunjukan musik semacam ini gara-gara beberapa kali ikut menangani acara-acara pribadi yang mengundang penyanyi opera/klasik seperti Il Divo, Jackie Evancho dan Richard & Adam. Buat saya Collabro lebih menarik dengan pembagian vokal yang juga variatif. Karena sudah 4 kali menonton penampilan Il Divo, pertunjukan Collabro ini menjadi penyegaran karena Il Divo sudah lebih mapan dari sisi aransemen sehingga sudah lebih mudah ditebak. Ini lebih segar, ditambah penampilan muda yang juga tentunya lebih menarik dan menunjukkan antusiasme lebih besar.


Album debut mereka, “Stars” digarap oleh produser Graham Stack (Take That, Leann Rimes, Il Divo) dan Matt Furmidge (One Direction, Boyzone, Craig David). Album ini langsung melesat ke posisi #1 di Inggris saat debutnya, menggantikan album “X” dari Ed Sheeran di posisi puncak. Dengan rapor baik yang mereka miliki, tak heran jika melihat penampilan mereka bisa bikin kita kagum.


Setelah sesi showcase, kami menunggu jadwal interview yang akan dilakukan di salah satu kamar suite. Berhubung media dari Indonesia adalah televisi maka kami perlu waktu lebih awal untuk menyiapkan peralatan. Naiklah kita ke lantai 15 The Langham Hong Kong tempat suite yang digunakan sebagai lokasi interview. Di sana sudah ada kru kamera dan audio yang juga disewa untuk menyediakan materi audio-video untuk kami dan negara lain yang tak mengirim media. Tim dari Net. juga menyipkan peralatannya sembari menyamakan pengaturan kamera sewaan yang diawaki kru dari Hong Kong. Kendala bahasa bisa diatasi lewat pemahaman atas peralatannya.


Setelah menunggu beberapa waktu, datanglah para personil Collabro yang dengan ramah menyapa. Tak menunggu lama, wawancara segera dimulai dengan reporter Net. sebagai penanya. Wawancara berlangsung sangat lancar dan para personil Collabro menjawab pertanyaan dengan cukup variatif, jelas serta menyenangkan. Usia mereka yang masih terbilang muda begitu terlihat di wawancara. Meskipun berpenampilan rapi berjas namun itu hanya kemasan dari pribadi-pribadi yang berjiwa muda ini. Setelah sekitar 10 pertanyaan yang menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit, wawancara pun harus selesai. Plong rasanya kalau sudah beres. Saya sempatkan juga untuk berfoto bersama mereka dong. 


Kami pun berberes dan sempat berbincang dulu dengan orang-orang dari pihak ROAR Global, perusahaan manajemen artis yang menaungi Collabro. Saya berkenalan dengan Professor Jonathan Shalit OBE, pendiri ROAR Global yang juga mendapat gelar kehormatan dari kerajaan Inggris atas jasanya di bidang dunia hiburan. Sebuah perbincangan singkat yang tapi berkesan karena saya tahu betapa orang yang saya ajak bicara itu adalah orang yang sangat penting di industri musik Inggris.

Photo from Jonathan Shalit OBE Twitter
Setelah semua beres kami pun meninggalkan lokasi untuk kembali ke hotel dan berencana menutup hari dengan makan malam di daerah Temple Street lokasi terkenal tempat pasar malam dan resto seafood Spicy Crabs. Kami pun meluncur dengan kereta MTR menuju stasiun Jordan dan berjalan kurang lebih 5 menit untuk sampai ke daerah Temple Street. Meski tak seramai Mong Kok, saya lebih menikmati tempat ini karena lebih banyak dagangan unik, jajanan jalanan dan tempat makan di pinggir jalan.


Kami memilih salah satu rumah makan Spicy Crab yang ditawarkan oleh para pelayannya. Mereka menawarkan makan ditempatnya dengan penuh semangat jadi kami pun seakan tersedot ke tempatnya. Menunya kebanyakan seafood. Menu spesialnya adalah Spicy Crab namun ternyata harganya mahal sekali yaitu sekitar HKD400 untuk 2 ekor kepiting. No way. Kami akhirnya hanya pilih Udang goreng, Ayam saus lemon dan sayuran jamur. Makanan di tempat ini enak! Apalagi kita sudah sangat lapar karena tidak sempat makan siang. Total yang harus kami bayar dengan menu diatas plus minuman softdrink sebesar hampir HKD300, agak mahal tapi atas nama pengalaman tak apalah.

Sudah kenyang, kami pun jalan-jalan menelusuri lapak-lapak jualan. Barang yang dijual lebih unik di pasar ini, dari bong, batu cincin, topeng tradisional sampai sex toys dijajakan di kaki lima. Kami juga menyicip cemilan jalanan entah apa namanya yang pasti ada semacam bakso goreng, kaki gurita dan kue waffle telur. Nyam nyam nyam. Harganya sekitar HKD20-30.


Hari sudah larut, kami pun kembali ke hotel untuk berkemas karena esok harus pulang meskipun masih punya waktu jalan-jalan sampai sore sebelum berangkat ke bandara. Let's go to sleep..

Wednesday, December 3, 2014

Perjalanan ke Hong Kong untuk Promosi Collabro (Day 1)


Pada tanggal 15-17 November lalu saya berkesempatan pergi ke Hong Kong untuk menghadiri kegiatan promosi salah satu artis Sony Music yaitu Collabro. Seperti biasa, tugas saya adalah menangani media dari Indonesia yang meliput acara ini. Kali ini saya bepergian dengan tim peliputan dari Net. yang terdiri dari seorang reporter/creative dan seorang kamerawan. Mau tau lebih jauh tentang bagaimana sebuah perjalanan mendampingi media ke acara promosi artis internasional? Yuk saya ceritakan.

Perjalanan ini adalah kedua kalinya saya ke Hong Kong setelah tahun lalu membawa media dari Indigo Creative Production (rumah produksi beberapa infotainment) dan artis lokal Mikha Angelo untuk kegiatan promo Avril Lavigne. Perjalanan tahun lalu meninggalkan kesan yang kurang menyenangkan gara-gara kami ketinggalan pesawat pulang. Tahun ini persiapan lebih matang dan jadwal pun diperketat untuk menghindari musibah yang sama. Kembali ke perjalanan kali ini, saya cukup menyukai Hong Kong karena dinamikanya yang luar biasa. Riuh, cepat, ramai, padat namun masih ada keteraturan. Urusan pekerjaan menjadi tak terasa berat jika kita bisa nikmati perjalanannya.



Kegiatan promo Collabro yang diprakarsai oleh Sony Music kali ini terdiri dari sesi showcase untuk kalangan media dan undangan kemudian dilanjutkan wawancara dengan media massa Hong Kong serta negara Asia lainnya. Wawancara dilakukan secara langsung dan juga melalui sambungan telepon untuk beberapa media negara Asia yang tak bisa hadir. Semua kegiatan akan dilakukan di The Langham, sebuah hotel mewah di kawasan Tsim Sha Tsui yang merupakan area sibuk dengan banyak pertokoan, perkantoran dan lokasi wisata. Lokasi hotel kami, The Kowloon Hotel hanya berjarak 5 menit dari lokasi acara. Yes! Dekat dengan banyak hal menarik! Kami tiba dengan Cathay Pacific, penerbangan kelas ekonomi yang cukup nyaman dengan banyak pilihan film serta acara TV. Sampai airport, lanjut perjalanan taksi ke hotel dengan biaya kurang lebih HKD250. Pilihan lebih murah sebenarnya naik kereta tapi karena kami membawa banyak peralatan TV jadi tak mungkin naik angkutan massal.


Sesampainya di hotel kami cukup excited karena lokasinya juara banget! Sore itu kami perlu mengambil gambar suasana Hong Kong jadi kita memilih yang terdekat yaitu Avenue of Stars, sekitar 7 menit berjalan kaki. Dari sana kita bisa melihat pemandangan gedung dan lampu kota di Pulau Hong Kong. Di lokasi yang sama juga terdapat patung-patung bintang besar di dunia hiburan. Salah satu yang paling terkenal adalah patung Bruce Lee. Selain itu juga ada cap tangan artis besar dari Sammo Hung, Stephen Chow hingga Andy Lau di sepanjang tempat ini. Saya sempat mencoba cemilan yang aromanya menggoda banget. Ternyata itu cumi yang dibuat semacam dendeng dan diberi bumbu. Alot!
Cumi-cumi alot.
Ronald, kamerawan Net. sedang mengambil gambar untuk melengkapi liputan.


Karena makin lapar kita langsung menuju Mong Kok naik kereta untuk lihat suasana pertokoan di malam hari termasuk pasar murah Ladies Market dan sekalian mencari tempat makan. Sampai di sana kita pilih tempat makan seperti warteg di Indonesia. Saya nggak ngerti pesan apa, tunjuk-tunjuk saja ternyata pas dicoba.. Pare! Aduh saya nggak suka pare, whatever lah. 


Setelah makan di tempat "warteg" itu baru kemudian nemu tempat ini. Keliatannya lebih enak, damn!
Meskipun makan malam pertama di Hong Kong tidak terlalu istimewa, tak mengapa karena masih ada hari esok. Di perjalanan pulang kita melewati tempat makan yang kelihatannya lebih enak dengan sebagian dapurnya di muka restoran membuat makanannya terlihat makin menarik. Tapi apa daya kami sudah kenyang. Kita pun pulang dan bersiap untuk bekerja esok hari, meliput showcase dan melakukan wawancara dengan Collabro. Good night.. 


(Bersambung..)

Thursday, November 6, 2014

Peluncuran B&W Experience Center


Sekitar sebulan lalu, saya bertemu dengan Pitta, kawan di industri musik. Ia memberitahu kini bekerja di The Expert Group, perusahaan yang menaungi brand Bowers&Wilkins. Merk ini mungkin belum begitu dikenal secara luas, namun bagi para audiophile nama B&W merupakan salah satu brand yang cukup dihormati. Singkat cerita kami banyak diskusi tentang dunia premium audio system dari pasar hingga pemasarannya. Kebetulan kantor tempat saya bekerja menggunakan beberapa speaker B&W yang juga pernah saya jajal. Akhirnya Pitta cerita kalau B&W akan membuka showroom pertamanya yang disebut "Experience Center" dan janji akan mengundang saat upacara pembukaannya.



Akhirnya undangan pun tiba dan saya sangat antusias untuk hadir, karena sebagai pecinta dunia audio, kesempatan ini sangat menarik buat saya. Selain itu dari segi pekerjaan juga tak ada salahnya membangun network dengan para pelaku industri high fidelity audio. Setibanya di lokasi yang terletak di Central Park (di kawasan ruko) acara sudah pada prosesi sambutan-sambitan termasuk dari perwakilan Kedutaan Besar Inggris sebagai penegas bahwa Bowers&Wilkins adalah aset penting negara tersebut.

Kemudian tiba saatnya para undangan bis merasakan pengalaman menikmati berbagai produk B&W di 3 jenis setup yang berbeda. Lantai pertama lebih bersifat showroom dengan produk portable (Headphones, earphones portable speakers, computer speakers). Saya cuma sempat mencoba 2 headphone yaitu P5 dan P7. Selain itu ada P3 dan IEM bertipe C5 Series 3. Keseluruhan headphone mengambil posisi sebagai portable headphone meakipun P7 agak terlalu bulky untuk jadi portable setup dengan model over ear. P7 adalah seri tertinggi dengan kualitas material yg sangat baik. Bahan kulit terasa mewah, jahitannya sangat rapi earpad juga cukup nyaman. Mengenai sound signature saya tak bisa komentar banyak karena kondisi audisi yang tidak ideal. Seri P5 jadi favorit saya karena tidak terlalu bulky dan masih nyaman untuk dilipat dan dibawa sebagai portable setup. Namun yang ini tipe on-ear, bukan over ear. Seri P3 lebih variatif dengan pilihan warna terang selain hitam.


Masuk ke sesi berikut yaitu ranah speaker. Meskipun di lantai dasar terpajang speaker legendaris Nautilus yang berharga lebih dari 1 miliar Rupiah namun sayangnya kita tak berkesempatan mencicipi suaranya. Namun di lantai berikutnya kita disuguhi ruang pamer speaker yang mayoritas diisi tipe 600series baik versi bookshelf, center hingga floorstand.


Di lantai ini ada juga ruang pengalaman yang menghadirkan varian-varian tertinggi line up 800 Diamond series yang memiliki kelebihan adanya unsur berlian di tweeter-nya. Fungsi berlian yang digunakan adalah untuk membuat cone tweeter yang lebih kuat sehingga rentang frekuensinya lebih tinggi. Dari penjelasannya, tweeter ini sanggup mereproduksi suara hingga 50kHz. Sebenarnya telinga manusia hanya sanggup mendengar sampai dengan 20kHz tapi buat pecinta audio, frequency range jadi indikator penting dari kemampuan sebuah speaker set. Seri speaker ini juga digunakan di studio rekaman legendaris Abbey Road. Dari audisi yang disuguhkan selama kurang lebih 5 menit dengan menggunakan adegan pertempuran di film Iron Man terbaru, memang kelas speaker ini cukup luar biasa. Seluruh frekuensi terdengar akurat rasa sonic yang juga bagus. Tapi harganya pun tak bohong, untuk satu pasang speaker floorstand front kita harus merogoh kocek lebih dari 250 juta Rupiah. Kemewahan ada harganya bung!


Di lantai teratas, suasana ruangan dibuat seperti sebuah rumah dengan ruang tidur dan dapur. B&W coba menawarkan sistem audio yang aplikatif untuk sehari-hari tanpa kebutuhan ruang home theater. Seri wireless Zeppelin Air yang diletakkan dirak dapur bisa dikontrol melalui fitur Apple Airplay. Suaranya sih seperti layaknya speaker wireless premium, cukup untuk kebutuhan harian. Di sisi lain ada ruang tidur yang dipasangkan dua jenis sepaker yaitu Mini Theater yang terdiri speaker satelit berukuran kecil serta Subwoofer serta tipe Panorama 2 yang berupa soundbar. Kriteria ini pas buat entry level yang tak mau repot dengan setup yang ribet. Tapi saingan B&W pun banyak sekali di ranah ini. Bose menawarkan sistem home theater yang lebih variatif dan soundbar kini banyak dirilis oleh produsen elektronik lain dengan kualitas audio yang beda tipis. 



Di lantai yang sama kita masuk ke area uji 600 Series. Disini jelas sekali kalau 800 Series memang superior karena setup terbaik 600 series saja nggak sanggup menyaingi setup yang sebelumnya kita uji lebih dulu. Di 600 Series masih terasa frekuensi yang terdengar tak nyaman terutama di frekuensi tinggi. Sonic-nya juga kalah telak, mungkin karena box speaker yang lebih sederhana sehingga lebih terasa boxy dan nggak se-full suara yang dihasilkan 800 Series. Untuk entry-level seri ini cukup menarik. Speaker bookshelf bya yang terkecil bisa dibeli dengan beberapa belas juta saja untuk sepasangnya.

Bowers&Wilkins sepertinya mulai serius masuk pasar Indonesia. Nama dan reputasi mereka yang sudah cukup populer tetap perlu dipasarkan dengan gencar karena saingan mereka telah memulai jauh lebih awal. Bose dan Bang&Olufsen mungkin jadi kometitor utama. Tak sulit menemukan dua brand ini. Bahkan Bose sudah sangat meluas ibaratnya brand premium yang telah jadi generik. B&O masih cukup terjaga namanya lewat showroom di mall-mall mewah. B&W harus hadir dengan strategi yang jitu kalau mau menyalip mereka. Awalnya sudah baik dengan dibukanya "Experience Center" ini yang digembar-gemborkan sebagai showroom B&W terbesar se-Asia Tenggara. Staff yang ada juga harus dilatih untuk paham bahasa audio, karena orang yang berani membeli speaker ratusan juta pasti akan pertimbangkan spesifikasinya juga. Jadi buat Pitta, congrats for the opening of B&W showroom and you've got a lot of work to do now..



Monday, October 27, 2014

Quo Vadis Ekonomi Kreatif Indonesia?


Pasca pengumuman Kabinet Kerja dari presiden Joko Widodo sore tadi saya menjadi bertanya-tanya. Ada bidang yang begitu penting dalam hidup saya yang kini hilang, Ekonomi Kreatif. Di kabinet sebelumnya ada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang dipimpin ibu Mari Elka Pangestu. Di kabinet yang baru dibentuk tak ada lagi kementerian yang menyebut Ekonomi Kreatif. Selentingan yang beredar adalah bidang ini akan ditangani dalam bentuk “badan” agar tidak tumpang tindih dengan kementerian lain yang esensinya juga harus memajukan ekonomi kreatif. Kita harus menunggu hasil sidang kabinet esok hari untuk tahu lebih jauh.

Pertanyaan besarnya bagi saya adalah, sebesar apa kemampuan sebuah “Badan” tersebut dalam mengurusi bidang yang justru luas dan lintas departemen? Apakah dari segi SDM, anggaran, dan kebijakan akan mampu menandingi wewenang dan porsi sebuah kementerian? Institusi apa yang akan memiliki kebijakan setidaknya sama dengan Kementerian? Jika akhirnya tetap dimasukkan dalam sebuah kementerian, apakah akan menjadi sebuah direktorat jenderal? Apa kabar cetak biru pengembangan ekonomi kreatif?

Seperti kita saksikan bersama saat tahap debat Capres antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, presiden pernah mengucapkan "Produk-produk ekonomi kreatif belum diberikan dukungan penuh. Kalau diberikan dukungan penuh akan bisa dikembangkan." Selain itu, lewat berbagai kampanye kreatif yang didukung penuh para pelaku ekonomi kreatif seakan memberi angin harapan bahwa bidang ini akan menjadi salah satu fokus pembangunan dari pemerintahan pimpinan Joko Widodo. Dari segi statistik pun bidang ini cukup penting. Mengutip ulasan kompas atas data dari BPS, "Angka sementara pencapaian ekonomi kreatif 2013 (data BPS, statistik ekonomi kreatif 2013) menyatakan sektor ini pertumbuhannya mencapai 5,76 persen, di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,74 persen. Kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia mencapai Rp 642 triliun, atau 7 persen dari angka nasional." Dengan ketiadaan kementerian tentu bukan berarti kita berhenti berkarya. Tapi tak mengherankan kalau kita jadi bertanya-tanya.


Hal terbesar yang mengganggu saya adalah, kenyataan bahwa saya harus mempertanyakan hal-hal tersebut. Saya menolak untuk pesimis, namun mari kita realistis dan kritis. Quo vadis Ekonomi Kreatif Indonesia?


UPDATE (27 Okt, 12.30 siang):
Kegelisahan ini ternyata cukup banyak dibahas, hingga akhirnya berbagai penjelasan pun bermunculan. Beberapa tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan saya ini di Twitter datang dari blogger dan salah seorang pegiat industri musik, Widi Asmoro (http://www.widiasmoro.com/). Kami bertukar pikiran melalui Twitter sebagai berikut:


Pencarian di Twitter juga melabuhkan saya di akun Nia Dinata berikut:


Hari ini Olga Lydia juga angkat bicara.
 
Dari berbagai Tweet dan beberapa artikel yang saya baca pun akhirnya beberapa pertanyaan kini terjawab. Akan ada sebuah badan yang menanungi. Tapi kita harus terus memonitor realisasinya. Seperti apa badan tersebut, apa kewenangannya, dan ketika sudah berjalan kita harus awasi bersama. Sementara ini yang bisa kita lakukan adalah menunggu sembari terus bertanya agar tak sesat di jalan.











Referensi:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/08/24/152859726/Bangkitnya.Ekonomi.Kreatif.Indonesia

http://gov.indonesiakreatif.net/research/kontribusi-ekonomi-kreatif-terhadap-pdb-indonesia/

http://www.merdeka.com/uang/untung-rugi-tak-ada-kementerian-ekonomi-kreatif-kabinet-jokowi.html

Tuesday, September 23, 2014

Artikel di Market+ Magazine: Musik dan Kanal Bisnis Baru


Beberapa waktu lalu saya diwawancara oleh mbak Asri Nur Aini, jurnalis dari Market+ Magazine yang akan menerbitkan edisi September bertemakan industri musik. Sayang sekali ada kesalahan dalam penulisan nama saya dalam artikel tersebut. Tapi bagaimanapun terima kasih untuk Market+ yang telah mengangkat tema ini dalam publikasinya. Berikut ini adalah artikel hasil wawancara tersebut.

Musik dan Kanal Bisnis Baru
Selain perkembangan layanan streaming musik, kini banyak perusahaan rekaman yang memiliki divisi artist management hingga event organizer. Pasar off air di Indonesia masih begitu besar karena populasi dan luasnya wilayah negara kita menjadikan permintaan pasar akan hiburan live music masih besar.

Pondra Priyanto (catatan buat redaksi: harusnya Priyono) dari Sony Music Indonesia menyampaikan bahwa industri musik adalah sebuah industri yang luas dan tak terbatas pada artis di depan panggung. “Banyak hal menarik di belakang layar seperti pemasaran, teknis audio, artist management , produksi pertunjukan, pengembang digital, pendidikan musik, dan banyak lagi. Khusus untukmusisi, tak usah takut dengan tantangan dunia musik profesional,” tutur Pondra.

Ia berpendapat bahwa hal utama bagi para talent muda yang tertarik terjun di industri musik adalah mempelajari industrinya agar bisa melihat kesempatan lebih banyak dan antisipasi terhadap risiko yang ada. “Lewat pemahaman industri yang baik kita bisa masuk ke dalamnya lewat jalur-jalur tak konvensional yang kadang bisa mengagetkan pasar dan justru membawa kesuksesan,” lanjutnya.

Sebagaimana halnya tim dari Sony Music Indonesia yang memahami tentang pertumbuhan industri yang berujung pada inovasi. Potensi layanan musik streaming yang dikembangkan salah satunya dengan meluncurkan aplikasi Sony Music Jive. Aplikasi streaming dan download musik ini tersedia secara cuma-cuma dalam beberapa tipe smartphone Sony Xperia. Pelanggan bisa menikmati ratusan ribu lagu baik lokal maupun internasional dari beberapa record label di aplikasi ini.

“Di ranah artist management kami memasarkan artis-artis yang kami naungi untuk penampilan di berbagai event dan juga untuk kebutuhan brand activation hingga brand ambassador bagi klien. Kami juga memiliki divisi yang siap menyelenggarakan berbagai jenis event terutama yangmelibatkan unsurmusik didalamnya,“ jelas Pondra.

Di luar kanal-kanal bisnis tersebut, terdapat upaya menggali potensi bisnis musik di berbagai bidang lain seperti music synchronization (penggunaan musik/lagu) hingga international artist provider . Pondra berharap Sony Music Entertainment Indonesia terus berinovasi tak hanya mengikuti perkembangan pasar tetapi juga menjadi pionir di industri musik dan kreatif. 
(ANA)
 
Link Market+ Magazine versi online:

Friday, September 19, 2014

UU Hak Cipta dan Kehormatan Bangsa



Apa sih pentingnya hak cipta? Bayangkan hidup masyarakat Indonesia selama ini secara serampangan memerkosa hak cipta dan tak malu mempertontonkannya ke siapa saja. Kenapa saya bisa bilang begitu? Contoh saja di media sosial, tak banyak yang malu mengatakan kalau dirinya sedang nonton DVD suatu film yang jelas-jelas secara resmi film tersebut belum dirilis dalam format DVD. Jujur saya pun masih belum bisa sepenuhnya tak mengonsumsi karya cipta bajakan. Saya tau itu salah dan sangat memalukan!

Pelaku industri kreatif bisa sedikit mengambil nafas lega dengan disetujuinya Revisi atas UU Hak Cipta pada 16 September lalu. Hal ini dirasa sangat pas seiring akan dilantiknya juga pemerintahan baru yang dipimpin oleh presiden terpilih Joko Widodo dalam selang waktu yang tak terlalu lama. Seperti telah disaksikan oleh rakyat Indonesia, Joko Widodo pernah menyampaikan dukungannya pada bidang ekonomi kreatif. Hak cipta menjadi salah satu elemen paling penting dari berbagai kegiatan ekonomi kreatif karena inilah regulasi yang akan mengatur muara industri kreatif yaitu para pencipta dan pemegang hak cipta. Revisi terbaru dari UU Hak Cipta kini memberikan jangka waktu atas atas hak cipta menjadi lebih panjang dan memungkinkan untuk diwariskan. Selain itu juga tertera pasal-pasal perlindungan yang lebih jauh.

Sebagai keluarga yang hidup dari industri kreatif, saya apresiasi pihak pemerintah dan parlemen atas UU ini. Nafkah keluarga kami kini semakin terlindungi. Satu hal yang jadi penekanan adalah penantian akan penegakannya. Seberapa “seksi” isu ini secara politis? Selama tidak menimbulkan gejolak massa, mungkin UU ini akan hanya jadi benang basah yang tak bisa tegak. Impoten!

Ya, faktor politis jadi penting. Ini sudah terbukti ketika terjadi apa yang disebut oleh industri musik tanah air sebagai “Black October” yaitu ketika di bulan Oktober 2011, pemerintah memutus aktivasi layanan RBT di semua operator selular karena kasus pencurian pulsa oleh beberapa oknum. Ibarat tikus di lumbung padi yang diburu dengan cara membakar lumbung. Banyak perusahaan penyedia konten dan juga perusahaan rekaman yang tak bersalah harus melakukan PHK atau bahkan menutup perusahaan. Bayangkan pasar yang sudah terbentuk harus terhenti secara mendadak. Kenapa respon pemerintah bisa sedemikian keras, tentu karena teriakan publik yang secara politis wajib ditangani secepatnya. Bayangkan jika industri kreatif tergolong padat karya, sepertinya pemerintah akan berpikir lebih keras untuk mengatasi masalah tanpa mematikan pihak yang tak terlibat.

Hadirnya UU Hak Cipta diharapkan mampu membawa stake holder ekonomi kreatif ke posisi politis yang mumpuni. Tentu tak sebentar untuk membangun masyarakat yang sadar hak cipta. Bahkan di negara maju pun masalah pembajakan juga masih merajalela. Sebelum keluar UU ini, sebelumnya sudah ada UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta namun apa yang kita rasakan toh tak banyak perubahaan. Melihat secara luas, ini memang bukan cuma tentang penegakan hukum dan political will. Ini juga masuk ke ranah moral serta kebudayaan. Bangsa yang kaya folklor seperti Indonesia terbiasa dengan karya yang bebas dikonsumsi. Lama kemudian, saat ini sulit untuk menjelaskan konsep hak cipta pada awam. Hak cipta memang tak berbentuk benda sehingga sulit dipahami apa yang dapat dicuri, diwariskan dan dilindungi. Bagai udara, masyaraskat merasa kekayaan intelektual dan karya cipta adalah hal bebas. Inilah tantangan tersulitnya.

Ekonomi kreatif yang kini mulai dilembagakan dan mendapat perhatian serius memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di dalamnya ada kehormatan bangsa. Regulasi hak cipta yang baik akan membawa anak bangsa tak takut berkarya dan berinovasi. Bayangkan Indonesia sebagai bangsa yang penuh inovasi dan karya orisinil. Seniman dan penemu tak takut akan masa depannya suram. Semua akan berlomba menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat. Karya cipta mereka dilindungi oleh negara. Inilah salah satu esensi dari perkembangan sebuah bangsa yang besar. Bangsa para penemu, sastrawan, penggubah, arsitek, ilmuwan, hingga programmer handal. Apakah tega jika Indonesia mentok menjadi bangsa buruh?

Image & Referensi:

Thursday, September 11, 2014

Selamat Hari Radio!

Petang 17 Agustus 1945, Jusuf Ronodipuro dan rekan2 merangsek masuk studio Hoso Kyoku (radio militer Jepang) untuk mengabarkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Meskipun akhirnya dihajar tentara Jepang, ini jadi tonggak tersiarnya kemerdekaan RI.

Pertandingan2 bulutangkis super-seru dari Susi Susanti disiarkan dengan menawan dan menegangkan. Peraihan medali emas pun bisa dirasakan seluruh rakyat Indonesia hingga pelosok lewat radio.

Medio 1998, saya masih ingat mendengar siaran langsung radio dari lokasi2 tragedi Trisakti hingga Semanggi. Kepanikan luar biasa ditengah suara letusan bedil dan gas air mata tapi laporan pandangan mata terus berjalan. Ngeri!

Gelombang radio berkali2 jadi medium paling cepat dalam menyiarkan kejadian2 terbesar bangsa ini. Tak berlebihan jika tanggal 11 September hari berdirinya RRI dinyatakan sebagai Hari Radio di Indonesia. Selamat untuk rekan2 pekerja dan pecinta dunia radio. Merekalah garda terdepan kedaulatan bangsa di gelombang radio Indonesia.

Thursday, July 24, 2014

Kemenangan Jokowi-JK dan Industri Gitar Tanah Air



Euforia pasca pengumuman hasil pilpres masih terasa hingga hari ini. Pemberitaan mengenai presiden terpilih Indonesia kini mulai menghiasi media asing. Buat saya, media semacam BBC, ABC, The Economist, Guardian, dll kurang menarik. Saya coba mencari sudut pandang media yang berbeda. Fakta bahwa seorang metalhead bisa terpilih sebagai presiden di negara demokrasi terbesar ke-3 jadi focus yang lebih ditekankan pada media musik terutama media musik cadas.

Lewat media Metalhammer, Blabbermouth, Loudwire hingga Revolver nama Jokowi melambung sebagai sosok politisi penyuka musik metal yang sukses menjadi presiden. Ya, presiden adalah posisi tertinggi di sebuah negara, bagi para metalhead, ini bukan berita ringan. Vokalis Lamb of God, Randy Blythe, langsung berkomentar panjang di akun instagram dengan postingan foto Jokowi mengenakan T-shirt Lamb of God dan foto Jokowi berkaus Napalm Death sembari menunjukkan simbol tangan devil’s horn yang jadi bahasa isyarat universal pemersatu para metalhead. Implikasi dari pemberitaan ini tentu mengundang banyak komentar dari publik.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah komentar di artikel online dari majalah Revolver menanggapi kemenangan seorang metalhead menjadi presiden Indonesia berikut ini yang diposting oleh seorang Netizen bernama Mario, “Now I understand why the best guitars are Made in Indonesia....”. Sungguh saya bangga membacanya. Inilah yang kita harapkan sebagai bangsa. Pengakuan!

Bagi teman-teman yang awam dengan dunia alat musik, Indonesia sudah lama menjadi salah satu produsen gitar terbesar di dunia. Pabrik gitar seperti Samick, Cort, Yamaha dan banyak lagi ada di Indonesia. Pabrik-pabrik selain mengeluarkan merk sendiri juga menjadi produsen untuk merk ternama lain seperti Squier (anak usaha Fender), Epiphone (anak usaha Gibson), LTD (anak usaha ESP), Ibanez dll. Selain industri kelas besar, gitar berkelas butik asal Indonesia juga sangat popular. Gitar Secco yang dibuat oleh luthier (sebutan untuk seniman pembuat gitar) Yosefat Wenardi Wigono asal Jawa Barat telah melanglangbuana hingga ke mancanegara. Harga gitar buatannya bisa mencapai USD4000, setara sekitar 45 juta Rupiah! Luthier lain misalnya kang Hanung degan Stranough Guitar juga masuk pasar internasional terutama dengan memproduksi Lapstick, sebuah travel guitar ciptaan Phil Neal yang dipasarkan di Eropa. Gelar gitar terbaik di dunia juga diraih oleh luthier Indonesia. Tahun 2012 lalu, Doddy “Mr. D” Hernanto dari Rick Hanes Guitar sukses membawa gitar tanah air menjadi gitar-gitar terbaik di dunia versi majalah Guitar Planet, Inggris.

Bagi kalangan industri alat musik dunia, Indonesia sudah menjadi salah satu pusat produksi gitar. Sayangnya hal ini tidak banyak diketahui publik dalam negeri yang kadang masih menganggap remeh gitar local. Memang cukup banyak juga perajin lokal yang sembarangan dalam membuat gitar sehingga kualitasnya sangat-sangat rendah. Jika saja masyarakat tau mengenai hal ini, tentu karya gitar dalam negeri bisa lebih dihargai. Perajin harus dibina mengenai pemasaran serta jaminan garansi pasca penjualan. Media harus mampu memberikan tempat dalam memublikasikan merk-merk local yang berkualitas dan juga mengedukasi melalui informasi tentang bagaimana menilai sebuah produk. Musisi harus makin memercayai produk lokal sebagai instrument andalan agar menular ke para penggemarnya dan para musisi muda. Pemerintah juga wajib mendukung industri alat musik lokal. Insentif dalam hal pembuatan hak cipta, kesempatan pemasaran di luar negeri, menggelar pelatihan-pelatihan untuk produsen agar terjaga jaminan kualitas produknya.


Pada akhirnya, sebuah harapan besar muncul dari hadirnya pemerintahan baru yang akan dilantik beberapa bulan lagi. Jangan sampai sebuah pengakuan dari publik asing yang sudah diarih pada akhirnya menjadi mubazir. Paparan Jokowi saat debat Capres lalu tentang pentingnya pembangunan ekonomi kreatif harusnya menjadi motor penggerak industri alat musik. Fakta bahwa Jokowi merupakan seorang penggemar musik metal sudah digembar-gemborkan sejak lama. Kedekatannya dengan dunia musik juga terlihat saat digelar konser 2 jari yang cukup epik. Ia sebaiknya paham bahwa dibalik musik yang digemarinya itu ada elemen alat musik berkualitas yang menghasilkan nada berkualitas. Indonesia harus bisa menjadi produsen gitar terhebat di dunia. Kita jangan hanya jadi buruh untuk merk dagang asing. Sudah saatnya nama Secco, Stranough, Radix, Genta, Rick Hanes, Stephallen dan lainnya menghentak O2 Arena, Madison Square Garden hingga Glastonbury di tangan para musisi sekelas Radiohead, U2, Coldplay, Foo Fighters, John Mayer dan Slash.




Referensi: